PERILAKU (TUNALARAS)

PROFIL ANAK DENGAN TUNALARAS
Mendefinisikan gangguan tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku menurut Hallahan
dan Kauffman (2006) dapat dimulai dari tiga ciri khas kondisi emosi dan perilaku, yakni: (1)
tingkah laku yang sangat ekstrim dan bukan hanya berbeda dengan tingkah laku anak lainnya,
(2) suatu problem emosi dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung, (3)
tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan dengan harapan sosial
dan kultural. Sebagaimana tampak dalam peristilahannya, tunalaras atau gangguan emosi
diuraikan sebagai kesulitan dalam penyesuaian diri dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada
umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain. Heward & Orlansky (1988) dalam
Sunardi (1996) mengatakan seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki
satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu:

http://eprints.uny.ac.id/887/2/PENDIDIKAN_UNTUK_ANAK_DENGAN_TUNALARAS_DALAM_SETING_INKLUSI.pdf
1. ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat
indra maupun kesehatan.
2. ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin
hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
3. tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
4. mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
5. kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan
yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah.
Simptom gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam,
yaitu externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizing behavior memiliki dampak
langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang,
tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri. Tipe externalizing behavior berupa
Conduct disorder (gangguan perilaku) merupakan permasalahan yang paling sering ditunjukkan
oleh anak dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul,
berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis,
merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi tinggi maka anak dapat
dikatakan mengalami gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilaku-perilaku
tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak dengan conduct disorder.( Hallahan &
Kauffman, 2006).
Sedangkan Internalizing behavior berupa berbagai macam gangguan seperti
kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan
untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap
kegagalan dalam belajar di sekolah (Hallahan & Kauffman, 2006; Eggen & Kauchak, 1997). Anak
dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan) dan
menarik diri. Mereka mengalami keterasingan sosial, hanya mempunyai beberapa orang teman,
jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan
untuk bersenang-senang. Beberapa di antara mereka mengasingkan diri untuk berkhayal atau
melamun, merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya, mengeluhkan rasa sakit
yang sedikit dan membiarkan “penyakit” mereka terlibat dalam aktivitas normal. Ada diantara
mereka mengalami regresi yaitu kembali pada tahap-tahap awal perkembangan dan selalu
meminta bantuan dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi tertekan (depresi) tanpa
alasan yang jelas (Hallahan dan Kauffman, 2006).
Selain dari ciri dan tipologi tersebut di atas. Terdapat pula gangguan perilaku khas yang
disebut dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH). ADHD adalah istilah psikiatrik yang dipakai untuk menyebut
gangguan perilaku yang ditemukan pada anak. Manifestasi dari gangguan ini adalah, (1)
inatensi, yaitu perilaku hilang atau beralihnya perhatian, dan kesulitan mengorganisasi tugastugas.
Inatensi ini juga sering disebut ADD (Attention Deficit Disorder). (2) Hiperaktif-impulsive,
yaitu perilaku yang tidak terkendali, dan sikap impulsive atau terburu-terburu yang berlebihan (V.
Mark Durand & David H. Barlow, 2006).
Dari berbagai uraian ciri dan tipologi perilaku dari anak dengan tunalaras atau
gangguan emosi dan perilaku ini, dapat dikatakan bahwa gejala emosi dan perilaku yang
’berbeda’ seringkali mendapat respon yang negatif bahkan penolakan dari masyarakat.
Dilematisnya adalah akibat dari penolakan tersebut gangguan emosi dan perilaku yang muncul
bukannya teratasi namun justru menjadi bertambah kuat. Apabila reaksi masyarakat kembalai
negatif, maka sebab akibat antara gangguan ini dan respon masyarakat yang negatif akan
menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah terselesaikan. Sebagaimana dijelaskan oleh
Hallahan dan Kauffman (2006) bahwa secara sosial dan emosi, karakteristik anak dengan
tunalaras akan mengakibatkan penolakan sosial. Penolakan lingkungan ini bisa jasi dimulai dari
teman sebayanya. Akibatnya adalah mereka menjadi tidak terampil dalam menggunakan dan
memahami bahasa di lingkungan sekitarnya. Sedangkan bahasa adalah aspek yang penting
bagi penerimaan lingkungan.
KARAKTERISTIK AKADEMIK
Kemajuan akademik seorang siswa salah satunya ditentukan oleh IQ. Anak dengan
gangguan emosi dan perilaku tidak memiliki kriteria intelegensi secara khusus. Dalam distribusi
kurve normal statistik, kebanyakan anak dengan gangguan ini berada dalam range anak lamban
belajar sampai anak dengan tunagrahita ringan (Hallahan dan Kauffman, 2006). Selebihnya
beberapa mereka termasuk anak cerdas dan beberapa pula termasuk anak dengan tunagrahita
sedang hingga berat. Tes IQ tidak sepenuhnya cocok untuk mereka, karena karakteristik emosi
dan perilaku mereka akan mengganggu konsentrasi dalam pengerjaan tas IQ.
Masalah akademik lain adalah underachiever, mereka tidak mampu memenuhi prestasi
sesuai dengan usia mental mereka. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang berat
biasanya kurang dalam kemampuan membaca dasar dan keterampilan matematika (Hallahan
dan Kauffman, 2006). Hal itu utamanya disebabkan karena gangguan emosi dan perilaku yang
merusak atensi mereka dalam menerima pelajaran, padahal atensi merupakan faktor penting
dalam proses belajar.
Selain itu disebutkan bahwa 20-60 % anak dengan ADHD juga mengalami kesulitan
belajar (Sandra F. Rief, 2008). Hubungan antara ADHD dengan kesulitan belajar sangat bisa
dimengerti ketika anak dengan ADHD kehilangan perhatian dan konsentrasi pada pelajarannya,
dan justru beralih perhatian pada situasi-situasi umum di lingkungan belajarnya, seperti gambar
di dinding, suara kendaraan di lluar kelas, dan sebagainya. Pada siswa hiperaktif-impulsif,
kecenderungan yang selalu bergerak dan berpindah tempat, serta perilaku yang terburu-buru
dan tidak bisa dikendalikan tentunya juga menghambat proses belajarnya. Secara umum
gangguan belajar anak ADHD dalam membaca dan menulis adalah kehilangan konsentrasi dan
tidak bisa fokus. Dalam matematika, anak ADHD ini seringkali kesulitan dalam membaca tanda
operasi hitungan dan kesulitan dalam memahami dan mengerjakan soal cerita (Sandra F. Rief,
2008).
Akhirnya adalah, anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini selalu mendapat nilai
rendah, gagal dalam memahami pelajaran, sering tidak naik kelas, berada pada passing grade
nilai atau kelulusan terbawah, dan menghadapi kesulitan dalam penyesuaian hidup saat mereka
dewasa (Frank, Sitlington, & Carson, 1995; Koyangi & Gaines, 1993, dalam Landrum, 2003)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEAST - Kimi wa dou?

Arashi Biografi

New Dorama: Mioka